Ditulis oleh: Rizanto Binol, Komite Kajian Strategis dan Industri, Bidang Pariwisata & Kebudayaan, DPP HIPPI
Indonesia selalu membanggakan diri sebagai negeri seribu destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang tiada tara. Tetapi kebijakan pemasaran pariwisata yang dirumuskan oleh pemerintah kerap mengandalkan optimisme tanpa diikuti strategi komprehensif. Rencana kerja Kemenpar 2025 menargetkan meningkatnya kapabilitas sistem kepariwisataan, kualitas berwisata, dan tata kelola kelembagaan dengan alokasi awal lebih dari Rp1,4 triliun. Indikatornya antara lain peringkat Travel & Tourism Development Index di posisi 20, kontribusi PDB pariwisata 4,6 %, serta kunjungan 17–19 juta wisatawan mancanegara. Namun efisiensi anggaran yang menurunkan pagu menjadi hanya Rp884,9 miliar memaksa Kemenpar melakukan penyesuaian drastis. Apakah kebijakan pemasaran pariwisata Indonesia siap menghadapi realitas ini?
Potret Anggaran dan Kesenjangan
Dari beberapa dokumen yang penulis analisa dari Kemenpar 2025 menunjukkan dominasi program pendidikan vokasi dan dukungan manajemen dalam struktur anggaran. Belanja pemasaran pariwisata justru hanya sebagian kecil: pengembangan pemasaran nusantara mendapat Rp18,8 miliar, pengembangan strategi komunikasi pemasaran Rp59,5 miliar, dan promosi mancanegara tiga wilayah total sekitar Rp26 miliar. Meski angka ini tampak signifikan, jika dibanding total anggaran setelah efisiensi, porsi pemasaran digital dan brand awareness hanya sekitar 6–8 %.
Sebaliknya, program penunjang manajemen menyerap Rp783 miliar atau hampir 90 % dari pagu. Ketimpangan ini menggambarkan kecenderungan birokratis: anggaran besar justru habis untuk urusan administrasi, bukan promosi.
Lebih jauh, strategi pemasaran yang tertuang masih didominasi oleh kampanye berbasis event. Ringkasan Program mencantumkan anggaran lebih dari Rp100 miliar untuk pengembangan MICE dan penyelenggara kegiatan (event) daerah, nasional, dan internasional. Promosi melalui event memang dapat menarik minat wisatawan secara temporal, namun tanpa strategi lanjutan, dampaknya cepat hilang. Tidak ada kerangka yang menghubungkan event dengan perbaikan destinasi atau peningkatan ekonomi kreatif lokal. Hal ini menunjukkan betapa event-driven marketing masih menjadi andalan, meski outputnya sukar diukur secara berkelanjutan.
Efisiensi Anggaran: Peluang atau Ancaman?
Pemotongan lebih dari 40 % terhadap anggaran Kemenpar merupakan bagian dari kebijakan efisiensi fiskal nasional. Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyebut dana yang dapat dimanfaatkan tinggal Rp884,9 miliar dari pagu awal Rp1,48 triliun. Ia menegaskan program unggulan seperti Gerakan Wisata Bersih, digitalisasi pariwisata 5.0, dan Desa Wisata tetap akan dijalankan. Dari kacamata fiskal, efisiensi bertujuan menjaga kesehatan keuangan negara; tetapi dari sudut pandang sektor pariwisata, pemangkasan ini seperti menebas sayap di tengah lomba lari global.
Artikel opini Inilah.com mengkritik kebijakan ini sebagai langkah mundur fundamental, terutama ketika negara tetangga justru melipatgandakan investasi dalam promosi pariwisata. Thailand melonggarkan visa dan mendanai kampanye global; Vietnam agresif membangun infrastruktur dan memasarkan destinasi baru. Dengan demikian, pemotongan anggaran besar-besaran membuat Indonesia berpotensi kehilangan momentum merebut pangsa pasar wisatawan. Efisiensi seharusnya menyasar pemborosan birokrasi dan program tumpang tindih, bukan “mengamputasi program strategis”.
Kelemahan Kebijakan Pemasaran
- Fokus Kuantitas, Bukan Kualitas
Indikator kinerja strategis masih mengutamakan jumlah kunjungan wisatawan dan total perjalanan nusantara. Tidak ada target rata-rata belanja per wisatawan, lama tinggal, atau indeks kepuasan yang lebih berhubungan dengan kontribusi ekonomi nyata. Selain itu, target devisa pariwisata US$19–22 miliar relatif moderat, padahal promosi efektif dapat mendorong wisatawan bernilai tinggi.
- Ketergantungan Event
Pemasaran event-centric tanpa ekosistem pendukung membuat promosi cepat usang. Anggaran besar untuk festival dan MICE tidak disertai program pasca-event, misalnya paket wisata lanjutan, kurasi produk ekonomi kreatif, atau pelatihan UMKM. Tanpa tindak lanjut, event hanya menjadi pesta sesaat yang boros anggaran.
- Minim Integrasi Digital
Meskipun Kemenpar ingin mengusung konsep Tourism 5.0, alokasi untuk strategi dan komunikasi pemasaran (Rp59,5 miliar) dinilai minim untuk membangun tourism intelligence system berbasis big data. Pemasaran modern harus mengandalkan analitik perilaku wisatawan, segmentasi, dan strategi konten digital. Belanja promosi tradisional, terutama di pasar mancanegara, sering kali tidak tepat sasaran tanpa dukungan data atau data yang bias.
- Fragmentasi Lintas Tingkatan
Dokumen resmi tidak menunjukkan integrasi antara promosi nasional dan kesiapan destinasi di daerah. Promosi Asia Timur bernilai Rp6,36 miliar misalnya, tidak disertai indikator kesiapan amenitas dan akses untuk destinasi yang dipasarkan. Koordinasi lemah antara pusat dan daerah membuat pesan pemasaran terfragmentasi dan potensi destinasi menengah tetap terpendam.
- Ketimpangan Anggaran Dukungan Manajemen
Rp783 miliar untuk program dukungan manajemen menunjukkan besarnya belanja aparatur. Kesenjangan ini menimbulkan persepsi bahwa birokrasi lebih penting daripada belanja publik yang langsung menggerakkan ekonomi pariwisata.
Jalan Keluar Menuju Pemasaran Berbasis Nilai
Krisis anggaran justru dapat menjadi katalis perubahan. Berikut solusi yang dapat dipertimbangkan:
- Reprioritasi Anggaran
Kurangi porsi dukungan manajemen; alihkan dana ke promosi digital, riset pasar, dan program peningkatan pengalaman wisatawan. Fokuskan promosi pada segmen pasar bernilai tinggi dengan daya beli besar.
- Membangun Tourism Intelligence Terintegrasi
Mengumpulkan data transaksi dari OTA, maskapai, hotel, dan media sosial untuk memetakan tren permintaan dan perilaku wisatawan. Analitik ini memungkinkan kampanye pemasaran yang lebih presisi, sehingga setiap rupiah promosi menghasilkan dampak maksimal.
- Prioritas pada Kualitas Pengalaman
Geser indikator kinerja dari jumlah kunjungan ke nilai tambah. Pemerintah harus mendorong destinasi mengembangkan produk wisata berkualitas, berkelanjutan, dan unik. Program promosi harus menonjolkan pengalaman, bukan sekadar tagline.
- Kolaborasi Lintas Sektor dan Skema Pendanaan Alternatif
Efisiensi tidak boleh berarti penghematan membabi buta. Pemerintah pusat perlu menggandeng Kementerian PUPR untuk infrastruktur, Kemenkominfo untuk konektivitas digital, serta investor swasta melalui skema KPBU. Selain itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) pariwisata, pinjaman lembaga internasional, hingga penerapan tourist levy dapat menjadi sumber pembiayaan.
- Integrasi Event dengan Ekonomi Kreatif
Setiap event harus diikuti program legacy: pelatihan UMKM, kurasi produk lokal, serta promosi lanjutan. Event bukan tujuan, tetapi alat untuk membuka rantai nilai baru bagi pelaku wisata dan ekonomi kreatif.
Kebijakan pemasaran pariwisata Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Efisiensi anggaran dapat berujung pada pelemahan daya saing jika tidak diimbangi inovasi dan pergeseran paradigma. Di tengah kompetisi global, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan festival dan tagline; diperlukan strategi berbasis data, kolaborasi lintas sektor, dan orientasi pada kualitas pengalaman wisatawan. Dengan mengutamakan nilai pada kuantitas, pariwisata dapat kembali menjadi mesin pendorong ekonomi nasional tanpa terbebani birokrasi yang mahal. Hanya dengan demikian, mimpi menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata unggulan dunia dapat diwujudkan, meski dalam keterbatasan anggaran.
*Data dan informasi di olah dari berbagai sumber dan media.